terjemahkan

Selasa, 12 Februari 2013

BERTINDAK SEBELUM DITINDAK


Pernahkah kita memendam rasa benci terhadap para koruptor? Pernahkah kita berteriak membudayakan anti korupsi? Mari saatnya kita berfikir dan mulai bergerak maju. Sebenarnya tidak etis, kita berteriak anti korupsi, tetapi kita sendiri menanamkan budaya korupsi di kehidupan kita, keluarga contohnya. Sebagai orang tua, saatnya anda menyadari, bahwa andalah yang bersalah jika kelak anak-anak anda menjadi koruptor. Dengan membiarkan anak anda meninggalkan kewajiban shalat 5 waktu, membiarkan anak anda menonton televisi saat malam hari, dan membiarkan anak anda tidur malam dengan nyenyak padahal tugas sekolah mereka belum tuntas, berarti secara tidak langsung anda telah menjerumuskan anak anda ke dalam labirin ‘korupsi’ yang sulit untuk mencari jalan keluarnya.
Sebagai seorang tenaga pengajar, sebaiknya anda segera bersiap-siap untuk mengubah cara mengajar anda. Ulangan harian, memberi tugas rumah, serta ujian nasional sebenarnya adalah implementasi budaya korupsi. Sudah bukan sebuah rahasia, bahwa setiap ulangan harian, siswa-siswa banyak yang mencontek dan biasanya guru atau pengawas diam saja seolah-olah tidak melihat. Dari sinilah nanti tumbuh koruptor koruptor muda yang mampu memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan. Masih belum selesai sampai di situ. Tugas rumah yang selalu anda berikan tiap akhir pelajaran secara tidak langsung membentuk karakter siswa untuk mengerjakan sesuatu tanpa diawasi, entah itu pekerjaannya sendiri atau bukan, yang mereka pentingkan hanyalah tugas yang anda berikan ini selesai.
Yang lebih memprihatinkan lagi, program tahunan yang setiap tahun diikuti oleh seluruh siswa kelas terakhir di tiap-tiap jenjangnya, adalah propaganda budaya korupsi yang paling parah. Di depan pengawas yang belum mereka kenal, banyak siswa yang bertukar jawaban via sms. Mencontek sudah menjadi adat istiadat ujian nasional. Dari sinilah tumbuh para koruptor muda yang ahli bermain petak umpet.
Demikianlah sekelumit info dari saya, bukan maksud saya untuk menjelek jelekkan suatu lembaga/ instansi, tetapi marilah kita berubah untuk Indonesia bebas korupsi.
KEBERHASILAN ITU DIMULAI DARI DIRI SENDIRI…

Selasa, 05 Februari 2013

Barangku, hilang satu


Barangku, hilang satu

Barangku hilang
Sebiji
Tahukah kamu?

Barangku pergi
Tanpa meminta punggung tanganku
Barangku tiada
Diambil siapa?

Barangku hilang
Tak kembali pulang
Akankah berenang?
Atau terbang?
Februari 2013

Adakah yang masih pantas untuk kutulis?


Aku gagal menjadi angin
Berlari
Aku gagal menjadi rumput
Menari

Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Hah! Jari-jariku terlalu hina untuk menulis sebuah cerita. Mimpiku menari-nari dalam genggaman rumus-rumus matematika. Adakah ruang bagiku untuk menyesali? Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal?
Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Gagal mendaki lembah yang sunyi. Gagal, dan gagal lagi. dimanakah tempatku mencari inspirasi? Dimanakah gunung berbatu yang dulu hadir menemani? Mungkin dia sedang tidur. Tidur dan tak mungkin kembali.
Tenang. Santai. Adakah kata lain? Aku masih ingin yang lain. Datangkan inspirasi itu. Aku masih kehilangan. Gagal. Gagal? Berikan kata lain. Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Gagal? Aku butuh yang lain.
Aku belum menemui mereka. Siapa? Mereka yang berani. Berani berjalan dalam sunyi. Berani mencari dalam terangnya lampu mati. Mereka yang berani. Berani melawan inspirasi. Aku butuh mereka. Mereka yang lain. Mereka yang tak mengenal gagal. Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Mengapa tak ada mereka yang lain? Mengapa bumi serasa seluas jari kelingking? Adakah mereka yang lain?
Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Tanganku menghinakan segala yang hina. Termasuk tulisanku yang lagi tak bermakna. Adakah yang masih pantas untuk dibaca? Bukankah nyaman bila sempurna? Roda-roda menggilas aspal yang terbakar. Dengan mata rantai yang mengalir bak air di selokan. Sialnya, aku gagal.
“Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal?” teriakku pada sepi. Sepi yang ingin menanggapi.
“Bukankah indah menjadi angin? Mengalir tanpa harus mengekor pola?” jawab sepi, yang mulai merasuki.
“Kenapa angin tak berpola? Kenapa angin jadi sempurna? Kenapa sepi tertawa-tawa?”
“Bukankah kau telah gagal? Untuk apa kau lanjutkan? Bukankah indah membuang ludah?”
Aku masih belum puas. Mengapa aku gagal? Bukankah inspirasi selalu datang kapan saja? Kutinggalkan sepi melamun sediri. Melamun dan masih tertawa.  Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal?
Masih kuraih tongkat yang kian merapuh, dimakan rayap yang tiada gagal.
“Mengapa indah menjadi rayap? Bukankah kami lebih berada?”
“Ada apa gerangan bertanya? Kami hanya rayap biasa” jawab rayap.
“Mengapa indah terbalut kegagalan? Bukankah indah jika sempurna?”
“Jadikan sebuah kegagalan menjadi seribu pelajaran. Begitulah kami hidup, sehari-hari, hingga kini,” rayap menjelaskan.
Aku cukup dipuaskan dengan jawaban rayap. Tanpa sadar tongkatku mulai habis dimakan rayap-rayap bijak. Kurelakan demi mereka. Kurelakan jadi pelajaran. Setidaknya, aku masih bisa menulis. Kedua telapak tanganku tak sanggup lagi menopang udara. Akupun merangkak meninggalkan rayap-rayap bijak. Mereka adalah bagian dari mereka. Mereka yang lain.
Seiring merangkak, seiring lelahku datang. Menghantui raga yang baru keluar dari kegelapan. Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal?
“Bukankah kau telah gagal? Masihkah kau hidup untuk bernafas?” Lelahku bertanya separuh menghina.
“Terlalu hina kah kegagalanku? Sehingga nafas pu terlalu mahal bagiku?”
“Kau terlalu cepat untuk berfikir. Mungkin itu pola pikiranmu. Hey? Masihkah kau menggunakan pola?” Lelahku tertawa.
“Ada apa dengan pola? Salahkah aku mengekor pola?”
“Bukankah kau ingin mereka? Bukankah kau cari mereka?”
“Aku semakin tak mengerti. Dapatkah kau lebih merinci? Kumohon, tanganku tak kuat lagi seperti ini,”
“Biarkan hatimu menjawabnya, nikmatilah bekalmu dan rebahkan tubuhmu. Biarkan mimpimu menari-nari, dalam genggaman rumus matematika,”
Kucoba menuruti perintahnya. Tubuhku seraya menjerit saat aku rebah. Ingin kulanjutkan bertanya, tetapi semua telah sirna. Aku masih tetap diam. Kini ganti lelah yang meninggalkanku sendiri. Keraguanku sedikit demi sedikit menjauh. Meski aku masih mencari mereka. Mereka yang lain.
Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Mimpiku hanya mempu menari-nari. Tak akan mampu memberi solusi.
“bukankah kau menghinaku?” mimpiku berhenti menari, berbalik menginterogasiku.
“aku tak pernah menghinamu, aku hanya meragukanmu,”
“pantaskah kau meragukanku sedang kau sendiri lebih hina dariku?”
“mengapa tidak? Bukankah indah saling mengoreksi?”
“bukan aku sombong tidak memberi solusi. Tetapi bukankah indah saling menghargai?”
“baiklah, sekarang dengan segala hormat, berikan aku solusi,”
“kau telah bertemu sepi, bertemu rayap-rayap bijak, juga lelahmu yang kini hilang. Pernahkah kau bertanya siapa gerangan mereka?”
“bukankah jiwa yang tenang? Yang hadir mengusik keraguan?”
“kuharap kau serius dengan jawabanmu. Karena itulah solusiku. Kini, gunakan kedewasaanmu. Sudah tak pantas kau mengenalku. Aku hanya kenangan masa kecil yang tertinggal dari museummu. Aku seharusnya rebah layaknya dirimu, bukannya menari-nari dalam genggaman rumus matematika,”
“tetapi bagaimana aku mencari kedewasaanku? Bukankah kau lebih tahu dariku?”
“bukalah matamu, dan angkatlah kakimu. Sudah saatnya kau mencari, sebelum kedewasaanmu pergi,”
Akupun membuka mata, dan kutemui mimpiku telah hilang dari pandangan, kembali menari-nari dalam genggaman rumus matematika. Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Gagal mencari kedewasaan. Gagal? Aku masih butuh yang lain. Mereka yang lain. Aku harus meninggalkan gagal. Tak bisa. Mereka menempel di mulut hatiku. Merapatkan agar tak mampu menasehati.
“sudah kau temui mereka?” sepi kembali menyapaku.
“sudahlah, aku telah gagal, tak usah kau pikirkan,”
“kau memang sudah benar-benar gagal. Maksudku, sekarang kau benar-benar gagal. Ketika kau menyerah pada kegagalan. Kau memang benar-benar gagal. Pulanglah, kau lebih pantas memeluk boneka, yang bahkan lebih sempurna dari dirimu yang gagal,”
“apakah gerangan maksudmu? Kau datang hanya untuk menghinaku?”
“aku tak pernah menghinamu, meski kau memang benar-benar hina, lebih hina dariku. Itu bukan ajaran guruku. Aku hanya memberi kritik, terserah kau mau menganggap sebagai hinaan atau ejekan, aku tak akan lebih peduli. Akupun malas melihatmu yang benar-benar gagal. Benar-benar hina,”
“maafkan aku, aku masih menangkapnya sebagai misteri. Mungkin jalan-jalan dapat membuka misteri ini,”
“tak ada yang perlu dibuka, karena memang tak ada yang tertutup. Kau hanya perlu mencari kedewasaan, yang lebih mengerti caramu berfikir,”
Kebimbanganku makin meraja. Kini aku sendiri, meski tiada lagi sepi menghantui. Aku sendiri, mencari kedewasaan yang menntunku mencari inspirasi. Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Bukankah aku telah menjadi seorang yang gagal? Mengapa harus menyerah? Mengapa mengekor pola? Bukankah indah jika sempurna?
Dalam kebimbangan, kutemukan seberkas cahaya. Terang, kian lama kian mendekat. Inikah kedewasaan? Sepertinya. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Makin dekat, makin tak kuasa aku memandangnya. suaranya lembut tetapi menggetarkan dadaku. Dada? Dadaku tak bergetar. Lalu apa?
“Syaiful, sudah waktunya, lihatlah ke arahku, aku bukan hantu yang hendak mencekik lehermu,”
“sungguh aku tak kuasa melihat keindahanmu, siapakah gerangan dirimu?”
“aku adalah hatimu, aku adalah kedewasaanmu, aku adalah kebijaksanaanmu, aku adalah sepi, aku adalah rayap, aku adalah lelah, dan aku adalah mimpi yang menari dalam genggaman rumus matematika. Kau lihat kan? Kini aku ada di depanmu. Kau telah mencapaiku. Kau telah menemui mereka. Mereka yang lain,”
“kau? Semuanya?” tanyaku lugu, masih belum mampou manatapnya.
“benar, Syaiful. Tetapi ingat, aku bukanlah kesempurnaan. Ada yang sempurna mengawasimu. Kau harus yakin itu,”
“kau, dimanakah kau selama ini? Bersembunyi tanpa kutahu jejakmu,”
“aku tak pernah sembunyi. Aku selalu ada dalam hidupmu. Akulah kegagalanmu. Aku adalah sesuatu yang ingin kau lupakan, itu sebabnya kau gagal. Kau benar-benar gagal. Kini, mari kita bersama-sama menjalani hidup dengan penuh keyakinan. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari segalanya. Aku selalu sedia kapanpun kau membutuhkanku, jadi tak perlu kau menyesal untuk gagal,”
“kau, mereka, kalian, terima kasih. Tetapi tak ada gunanya kau hidup bersamaku, karena aku sendiri sudah tidak dapat hidup lagi. Sekarang tolong kau lepaskan ikatanku, sungguh sesak rasanya aku melihat ragaku tercekik,
“aku tidak menyia-nyiakanmu, aku sungguh menyesal terlalu cepat melupakanmu, tetapi semua telah jadi bubur, akankah aku kembali? Tinggal aku kini hanya menerima,”
Angin bijakpun berhembus merasuki telingaku, membuang kedewasaan yang tak ada lagi berguna. Yang tertinggal hanya misteri, Adakah yang masih pantas untuk kutulis? Setidaknya aku tahu kenapa aku gagal.

Meronta
Aku meronta
Di sela-sela nafas
Yang beradu
Kesunyian
Di antara keramaian
Aku gagal

BANCI TERMOS


Bagian 1. Preambule Cerita
Hai kawan, perkenalkan namaku Jajang Sudiro Atmojo yang biasa dipanggil Bang Ter. Sedikit informasi ya, aku di sekolah tempatku ber-tholabul ilmi, terkenal sebagai seorang yang cengeng, walaupun dilihat dari usia dan lekukan tubuhku aku termasuk dewasa-kata mamah-. Sudah tahu kan kenapa cerita ini judulnya banci termos?
Baiklah, tadi sekedar pengenalan tokoh utama. Sekarang kita loncat ke dalam sumur, eh, ga ya, kita loncat ke inti permasalahan. Bang Ter, kalo kata orang jawa, maksude? Jadi ceritanya panjang, kayak rel kereta api. Jadi, setiap istirahat ke-2, aku punya kebiasaan baik yang patut ditiru, yaitu makan nasi di kelas. Kebiasaan dari kecil istirahat ke-2 makan bekal dari mamah, nasi goreng ama lauknya ayam goreng tanpa sambel, dibungkus kotak nasi bergambar hello kitty. Nah, gara gara kebiasaan itu ngekor aku sampai segedhe bongsor gini, temen-temen menjulukiku banci, dan gara gara aku selalu membawa botol air yang segedhe galon tiap hari, itulah kenapa panggilanku Bang Ter, alias Banci Termos.
Ok kawan itu tadi sekedar preambule dari aku. Mau dibaca terserah, mau gak dibaca tapi kalian udah terlanjur. Jadi, silakan membaca bagian-bagian selanjutnya dari cerita ‘Banci Termos’ ya?

Sabtu, 12 Januari 2013

kunci jawaban lks bahasa inggris mgmp kelas xi

nih gan, ane kasih ente kunci jawaban assessment 5 lks bahasa inggris mgmp kelas xi,,


1.      D
2.      C
3.      A
4.      C
5.      C
6.      B
7.      C
8.      A
9.      B
10.  D
11.  A
12.  B
13.  B
14.  C
15.  E
16.  A
17.  A
18.  A
19.  E
20.  B
21.  A
22.  B
23.  A
24.  B
25.  D
26.  B
27.  D
28.  D
29.  E
30.  E
31.  B
32.  D
33.  C
34.  A
35.  A
36.  B
37.  C
38.  C
39. 
40.  B

moga bermanffat gan, kunjungi terus blog ane ya,

Rabu, 09 Januari 2013

cara penggunaan osiloskop


Kontrol pada sebuah osiloskop dapat dibagi dalam 4 grup.
1. Housekeeping (On/Off, Brightness, Focus)
2. Horizontal (X Position, X Amplitude, Time/Division)
3. Vertical (Y Position, Y Amplitude, Invert, Volts/Division)
4. Trigger/Synchronization (Level, +/-, External, AC/DC/LF/HF, TVH/TVV)
Set kontrol manapun yang bertanda "calibrate" ke posisi yang benar.
Atur kontrol housekeeping untuk mendapatkan trace (tampilan).
Atur kontrol vertikal dan horizontal untuk menampilkan beberapa siklus dari gelombang.
Atur kontrol trigger/synch untuk membuat tampilan display diam.
Yang terbaik bila menampilkan sekitar dua siklus dan membuatnya tampil sebesar dan setinggi mungkin.
Mengukur amplitudo dan waktu periodik (waktu dari satu siklus). Lihat gambar dibawah.
Cara mengoperasikan osiloskop
Mengalkulasi frekuensi.
Pada diagram gelombang memiliki tinggi 4 divisi.
Switch volt/division di set pada 50 mV/division.
Karenanya maka amplitudo 4 x 50 mV = 200 mV.
Lebar satu siklus (ter-indikasi diantara dua titik merah) adalah 4 divisi.
Switch time/division di set pada 5 mS/division.
Waktu periodiknya 4 x 5 mS = 20 mS.
Ingat bahwa satu siklus adalah waktu antara mulainya sebuah gelombang dan titik dimana gelombang akan terulang lagi.
Frekuensi dapat dihitung dengan membaginya 1 detik dengan waktu periodik.
Ingat bahwa jika waktu periodik dalam satuan mS maka 1 detik harus di perlihatkan sebagai 1000 mS.
1000mS/20mS = 50 Hz.
Pola dari bentuk persegi dinamakan GRATICULE.
Sumber: Hobby Projects

Sabtu, 05 Januari 2013

perbedaan naskah proklamasi tulisan tangan dengan ketikan

gan, nih ane kasih beberapa perbedaan naskah proklamasi tulisan tangan ir. soekarno dengan yang otentik


1. Yang jelas satu berupa tulisan tangan Ir.Soekarno dan satu yang sudah di ketik Sayuti Melik
2. Tempoh menjadi tempo.
3. Djakarta 17-8-’05 (tahun Jepang) menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen1945.
4. Wakil bangsa Indonesia menjadi Atas nama bangsa Indonesia Soekarno / Hatta.